Rabu, 18 Juni 2014

Contoh cerpen


Semoga cerpen ini bisa menjadi bahan referensi teman-teman untuk mengerjakan tugas atau kegiatan lain. bisa copas, tapi akan lebih baik, jika teman-teman mau mencobanya terlebih dulu. ^^

Judul : "Aku takut desa itu.."

Seperti biasa, hari ini aku pulang sore. Tapi bukan karena ada bimbingan tambahan, karena kali ini aku harus mengikuti latihan ekstra kulikuler PMR.  Bersama teman-teman se-ekstra kulikuler, aku menunggu bis di pinggir jalan depan sekolah. Sungguh, hari yang melelahkan. Sambil menyeruput es degan, kami bercerita tentang latihan tadi, Karena latihan kali ini benar-benar menguras tenaga.
“Waahh.. Meski kau kelihatan kecil, ketika diangkat kau sungguh berat… menyesal aku memilihmmu tadi.!” Kataku sambil memegang kedua tanganku yg rasanya hampir copot.
“Kan sudah aku bilang, aku itu berat! Nah.,, baru ngrasain sekarang!” kata Debri sambil nyengir.
“Udah.. udah.. ketimbang kalian bertengkar hal yang sudah berlalu. Tu lihat apa yang akan datang.” Kata Erlin sambil menunjuk kearah jalan raya, dengan tanggap kami melihat ke arah yang ditunjuk erlin.
“Cepat lari.. ada bis itu!” teriak Erlin
“makasih Erlin, kami duluan ya..” jawabku.
***
Huuufft… Akhirnya sampai di depan rumah juga, pikirku. Cepat-cepat aku membuka pintu rumah.
“Bunda,,appa ,, Rini pulang! Assalamualaikum.!”
“Wallaikumsalam, aduh, anak bunda kelihatan capek. Ayo cepat mandi, lalu makan dan tidur”
“Iya bu, tapi makannya nanti aja. Aku tadi sudah makan bakso di kantin sekolah sama temen-temen”
                Sesudah mandi, aku langsung menuju tempat tidur unguku yang nyaman. Berharap bisa melepas rasa letihku karena menggendong Debri tadi. Baru 5 detik aku mulai tidur. suara ringtone “Gee” dari girls generation berdering. ku tutupi telingaku dengan guling, tapi usahaku sia-sia.  Tak tahan dengan suaranya,  kumatikan HPku. Agar aku dapat memuaskan tidurku.
“Akhirnya, tak ada yang menggangguku lagi!”
Tak berapa lama kemudian, mimpiku buyar karena suara dari bunda yang terus memanggilku.
“Rin,, rini,, bangun. Temenmu datang”
“Bilang saja Rini sudah tidur bun..”
“Jangan buat bunda berbohong lagi Rini.. Cepet bangun..”
"Iya-iya bundaku sayang"
                Dengan langkah yang berat, dan mata yang masih 5 watt ini, aku menuju ke ruang tamu.
“Sore Rini..! maaf. ganggu ya?” kata Erlin menyapa manis.
“Iya, ganggu banget. Ada apa emang? Kaya’nya urgent banget. Kamu tadi kan yang sering calling ke HPku. ”
“Sorry, sorry. Iya memang penting. Temenin aku ya.. ke desa sebelah ya. Please..  aku harus mengambil bukuku yang ketinggalan dirumah paman, terus buku itu harus dikumpulin besok. Nggak ada yang nemenin aku, orangtuaku nggak bisa. Temen-temen, aku nggak tahu rumah mereka. Ya Cuma kamu harapanku..”
“jangan menatapku dengan mata yang seperti itu. sebesar apapun matamu kau besarkan aku tidak akan pergi !lagian ini sudah hampir magrib, tambah lagi desa itu sungguh angker.”
“Ayolah, katanya kau sahabatku. Bukannya sahabat menemaninya saat susah dan duka. Aku akan membelikanmu es krim magnum, gimana? Ayyo dong!”
“OKlah ayo berangkat. Naik apa ini? Jangan bilang naik bis”
“I’m sorry, but nothing transportation we can use. . Ayo cepat keburu malam”
                Kami turun di persimpangan jalan raya. Setelah menyeberang, suasananya masih ramai. Bahkan ada beberapa remaja berkumpul ramai di depan rumah salah satu remaja itu.Aku kira rumah paman Erlin berada di tempat itu. tapi ternyata, kami masih harus berjalan terus, tibalah kami di jalan yang menurun dan tidak ada lagi permukiman disana. Hanya ada pepohonan rimbun di setiap pinggir jalan sehingga menambah kegelapan malam. Hanya ada satu lampu kecil di jembatan bawah. Kami terdiam.
                Kami diantaranya, antara pemukiman ramai di belakang kami dan kegelapan didepan.
“Erlin, bulu kudukku merinding. Ayo kita pulang! Diambil besok saja, perasaanku sudah tidak enak!”
“C’mon, kamu tega sama sahabatnya sendiri ! nggak ada apa-apa!” berjalan mendahuluiku.
                Aku berlari mengikutinya. Sesekali aku melihat sekitar melihat pepohonan yang bergerak pelan, lalu aku merunduk kebawah. Sungguh sangat sepi dan menyeramkan tempat ini. Kami terus berjalan melewati naik turun seperti jalan berbukit.
“Apakah masih jauh rumah pamanmu itu?”  kataku merinding.
“tiga kali lagi kau mengatakan itu, maka total sudah sepuluh kali. Iya masih jauh”
                Aku menerawang ke depan terlihat ada lampu disana, semakin dekat terlihat ada perkumpulan rumah kecil. Aku sudah agak lega, melihat beberapa rumah itu. kami bergegas cepat mendekati, ingin segera keluar dari kegelapan itu. semakin dekat dan dekat, kami sudah berada di sekitar rumah-rumah itu. namun bukan rasa lega yang kami dapat namun malah rasa kengerian yang bertambah. Desa itu seperti sudah mati, walau hanya ada lampu-lampu di jalan yang hanya seberapa. Bentuk bangunan seperti candi kecil. Ada banyak patung di depan mereka.
“Ayo Erlin, aku sudah tidak kuat dengan kengerian ini. Kita harus berjalan cepat”
“seperti itu kek dari tadi!”
                Kami berjalan tanpa menghiraukan bentuk rumah yang kami lewati, kami hanya memandang kedepan dan berjalan sampai kita sudah melewati desa itu. namun, didepan malah ada turunan panjang dan semakin gelap.
“Rini, jalan cepat seperti tadi!” erlin mengingatkanku.
                Kubulatkan tekadku, Aku tidak takut! Teriakku dalam hati.  Setelah kami sampai di palung, dengan cahaya yang sedikit. Dan ada rumah kandang dengan pintu seng di dekatnya, tekadku tadi mulai luntur, tiba-tiba hawanya menjadi semakin dingin, dan buku kudukku berdiri semua.
“Erlin, kok disini semakin gel…”
“DDuuuaakkkkkkkkkk……….. DDuuaakkkk!!  “Terdengar suara gebrakan dari balik pintu seng disamping kami.
Kami sangat kaget. Sontak kami berlari, tapi kakiku sangat berat. Ku coba melawannya, dan berteriak menyebut nama-Nya. “Allahu Akbar..” banyak kali. 
"Erliiiinnn.. tunggu aku. aku nggak bisa larii!!" teriakku. namun, erlin terlanjur menjauh di depanku. tengkuk belakang leherkupun tiba-tiba kesemutan hebat. 
"Lin" suara itu ada lagi.
"AllahuAkbar..." teriakku kencang dan akhirnya aku bisa berlari lagi. Tak tahu dari mana asal kecepatanku ini. yang entah mengapa aku bisa menyusul erlin di belakangnya.
                Walaupun kami berlari kencang, namun rumah-rumah masih tak terlihat. Kami berlari diantara sawah-sawah yang luas. Hingga kami berhenti karena melihat satu rumah didepan dengan lampu didepannya di pertikungan jalan.
“Aku sudah tidak kuat, aku masih gemetaran sebaiknya kita mampir di rumah itu saja”
“Jangan, berbahaya. Lagian rumah paman sudah  dekat”
“Sedekat apa? sedekat 5 km?. dari tadi kau menjawab seperti itu saja. Nyatanya, masih jauh”
“Percaya padaku”
"Bagaimana aku bisa percaya padamu?! kau tadi meninggalkanku?!!!!!!!!!!!!!"
"Kumohon rin, marahi aku atau tendang aku terserah padamu. yang penting jangan sekarang..."
Akhirnya aku menuruti keinginannya, Aku diam. rasanya benar apa yang dikata erlin. jika aku marah malah menambah keadaan semakin buruk. kali ini kami berjalan cepat tidak seperti tadi. Karena kulihat ternyata ada permukiman lagi disana. Sebelum sampai di permukiman itu kami melihat nenek tua berjalan bungkun berpapasan dengan kami. Kami hanya menjauh dan mempercepat laju kami. Dan akhirnya, kami tepat sampai di permukiman ramai.
“Itu,, rumah pamanku. Ayo cepat!”
                Di rumah paman Erlin, Erlin menceritakan segalanya. Tapi reaksi mereka sungguh aneh, mereka hanya terdiam,
“Itu, mungkin hanya anjing penjaga. Memang seperti itu anjing disini!” kata bibi.
“Tapi itu… "ucapku mencoba menjelaskan
"ya sudahlah.. yang penting kan kalian berdua baik-baik saja sekarang"
"Iya paman" angguk erlin cepat sebelum aku berkomentar banyak.
 "Paman aku tidak berani pulang. Tolong antar kami ya paman” lanjut erlin
“iya, tidak makan dulu?”
“kami sudah makan kok paman,” jawabku
                Akhirnya kami diantarkan pulang dengan montor yang bisa dibilang sudah tua. Aku juga Erlin, hanya tertunduk saja, tidak berani melihat kanan dan kiri, apalagi belakang. Namun aku tidak sengaja melihat sekelebat wanita berpakaian ungu, kemudian hilang. Tapi aku hanya terdiam, tidak mau memberitahu siapa-siapa, karena mungkin akan memperburuk keadaan.
                Sampai di rumah, aku menceritakan kepada orang tuaku. Kini aku percaya apa yang orang bilang tentang desa mati itu.
***THE END ***