Semoga cerpen ini bisa menjadi bahan referensi teman-teman untuk mengerjakan tugas atau kegiatan lain. bisa copas, tapi akan lebih baik, jika teman-teman mau mencobanya terlebih dulu. ^^
Judul : "Aku takut desa itu.."
Seperti biasa, hari ini aku pulang sore. Tapi bukan karena
ada bimbingan tambahan, karena kali ini aku harus mengikuti latihan ekstra
kulikuler PMR. Bersama teman-teman
se-ekstra kulikuler, aku menunggu bis di pinggir jalan depan sekolah. Sungguh,
hari yang melelahkan. Sambil menyeruput es degan, kami bercerita tentang
latihan tadi, Karena latihan kali ini benar-benar menguras tenaga.
“Waahh.. Meski kau kelihatan kecil, ketika diangkat kau
sungguh berat… menyesal aku memilihmmu tadi.!” Kataku sambil memegang kedua
tanganku yg rasanya hampir copot.
“Kan sudah aku bilang, aku itu berat! Nah.,, baru ngrasain
sekarang!” kata Debri sambil nyengir.
“Udah.. udah.. ketimbang kalian bertengkar hal yang sudah
berlalu. Tu lihat apa yang akan datang.” Kata Erlin sambil menunjuk kearah
jalan raya, dengan tanggap kami melihat ke arah yang ditunjuk erlin.
“Cepat lari.. ada bis itu!” teriak Erlin
“makasih Erlin, kami duluan ya..” jawabku.
***
Huuufft… Akhirnya sampai di depan rumah juga, pikirku.
Cepat-cepat aku membuka pintu rumah.
“Bunda,,appa ,, Rini pulang! Assalamualaikum.!”
“Wallaikumsalam, aduh, anak bunda kelihatan capek. Ayo cepat
mandi, lalu makan dan tidur”
“Iya bu, tapi makannya nanti aja. Aku tadi sudah makan bakso
di kantin sekolah sama temen-temen”
Sesudah
mandi, aku langsung menuju tempat tidur unguku yang nyaman. Berharap bisa
melepas rasa letihku karena menggendong Debri tadi. Baru 5 detik aku mulai
tidur. suara ringtone “Gee” dari girls generation berdering. ku tutupi
telingaku dengan guling, tapi usahaku sia-sia.
Tak tahan dengan suaranya,
kumatikan HPku. Agar aku dapat memuaskan tidurku.
“Akhirnya, tak ada yang menggangguku lagi!”
Tak berapa lama kemudian, mimpiku buyar karena suara dari
bunda yang terus memanggilku.
“Rin,, rini,, bangun. Temenmu datang”
“Bilang saja Rini sudah tidur bun..”
“Jangan buat bunda berbohong lagi Rini.. Cepet bangun..”
"Iya-iya bundaku sayang"
Dengan
langkah yang berat, dan mata yang masih 5 watt ini, aku menuju ke ruang tamu.
“Sore Rini..! maaf. ganggu ya?” kata Erlin menyapa manis.
“Iya, ganggu banget. Ada apa emang? Kaya’nya urgent banget.
Kamu tadi kan yang sering calling ke HPku. ”
“Sorry, sorry. Iya memang penting. Temenin aku ya.. ke desa
sebelah ya. Please.. aku harus mengambil
bukuku yang ketinggalan dirumah paman, terus buku itu harus dikumpulin besok.
Nggak ada yang nemenin aku, orangtuaku nggak bisa. Temen-temen, aku nggak tahu
rumah mereka. Ya Cuma kamu harapanku..”
“jangan menatapku dengan mata yang seperti itu. sebesar
apapun matamu kau besarkan aku tidak akan pergi !lagian ini sudah hampir magrib,
tambah lagi desa itu sungguh angker.”
“Ayolah, katanya kau sahabatku. Bukannya sahabat menemaninya
saat susah dan duka. Aku akan membelikanmu es krim magnum, gimana? Ayyo dong!”
“OKlah ayo berangkat. Naik apa ini? Jangan bilang naik bis”
“I’m sorry, but nothing transportation we can use. . Ayo
cepat keburu malam”
Kami
turun di persimpangan jalan raya. Setelah menyeberang, suasananya masih ramai.
Bahkan ada beberapa remaja berkumpul ramai di depan rumah salah satu remaja itu.Aku
kira rumah paman Erlin berada di tempat itu. tapi ternyata, kami masih harus
berjalan terus, tibalah kami di jalan yang menurun dan tidak ada lagi
permukiman disana. Hanya ada pepohonan rimbun di setiap pinggir jalan sehingga
menambah kegelapan malam. Hanya ada satu lampu kecil di jembatan bawah. Kami
terdiam.
Kami
diantaranya, antara pemukiman ramai di belakang kami dan kegelapan didepan.
“Erlin, bulu kudukku merinding. Ayo kita pulang! Diambil
besok saja, perasaanku sudah tidak enak!”
“C’mon, kamu tega sama sahabatnya sendiri ! nggak ada apa-apa!”
berjalan mendahuluiku.
Aku
berlari mengikutinya. Sesekali aku melihat sekitar melihat pepohonan yang
bergerak pelan, lalu aku merunduk kebawah. Sungguh sangat sepi dan menyeramkan
tempat ini. Kami terus berjalan melewati naik turun seperti jalan berbukit.
“Apakah masih jauh rumah pamanmu itu?” kataku merinding.
“tiga kali lagi kau mengatakan itu, maka total sudah sepuluh
kali. Iya masih jauh”
Aku
menerawang ke depan terlihat ada lampu disana, semakin dekat terlihat ada
perkumpulan rumah kecil. Aku sudah agak lega, melihat beberapa rumah itu. kami
bergegas cepat mendekati, ingin segera keluar dari kegelapan itu. semakin dekat
dan dekat, kami sudah berada di sekitar rumah-rumah itu. namun bukan rasa lega
yang kami dapat namun malah rasa kengerian yang bertambah. Desa itu seperti
sudah mati, walau hanya ada lampu-lampu di jalan yang hanya seberapa. Bentuk
bangunan seperti candi kecil. Ada banyak patung di depan mereka.
“Ayo Erlin, aku sudah tidak kuat dengan kengerian ini. Kita
harus berjalan cepat”
“seperti itu kek dari tadi!”
Kami
berjalan tanpa menghiraukan bentuk rumah yang kami lewati, kami hanya memandang
kedepan dan berjalan sampai kita sudah melewati desa itu. namun, didepan malah
ada turunan panjang dan semakin gelap.
“Rini, jalan cepat seperti tadi!” erlin mengingatkanku.
Kubulatkan
tekadku, Aku tidak takut! Teriakku dalam hati.
Setelah kami sampai di palung, dengan cahaya yang sedikit. Dan ada rumah
kandang dengan pintu seng di dekatnya, tekadku tadi mulai luntur, tiba-tiba
hawanya menjadi semakin dingin, dan buku kudukku berdiri semua.
“Erlin, kok disini semakin gel…”
“DDuuuaakkkkkkkkkk……….. DDuuaakkkk!! “Terdengar
suara gebrakan dari balik pintu seng disamping kami.
Kami sangat kaget. Sontak kami
berlari, tapi kakiku sangat berat. Ku coba melawannya, dan berteriak menyebut
nama-Nya. “Allahu Akbar..” banyak kali.
"Erliiiinnn.. tunggu aku. aku nggak bisa larii!!" teriakku. namun, erlin terlanjur menjauh di depanku. tengkuk belakang leherkupun tiba-tiba kesemutan hebat.
"Lin" suara itu ada lagi.
"AllahuAkbar..." teriakku kencang dan akhirnya aku bisa berlari lagi. Tak tahu dari mana asal kecepatanku ini. yang entah mengapa aku bisa menyusul erlin di belakangnya.
Walaupun
kami berlari kencang, namun rumah-rumah masih tak terlihat. Kami berlari
diantara sawah-sawah yang luas. Hingga kami berhenti karena melihat satu rumah
didepan dengan lampu didepannya di pertikungan jalan.
“Aku sudah tidak kuat, aku masih gemetaran sebaiknya kita
mampir di rumah itu saja”
“Jangan, berbahaya. Lagian rumah paman sudah dekat”
“Sedekat apa? sedekat 5 km?. dari tadi kau menjawab seperti
itu saja. Nyatanya, masih jauh”
“Percaya padaku”
"Bagaimana aku bisa percaya padamu?! kau tadi meninggalkanku?!!!!!!!!!!!!!"
"Kumohon rin, marahi aku atau tendang aku terserah padamu. yang penting jangan sekarang..."
Akhirnya aku menuruti
keinginannya, Aku diam. rasanya benar apa yang dikata erlin. jika aku marah malah menambah keadaan semakin buruk. kali ini kami berjalan cepat tidak seperti tadi. Karena kulihat
ternyata ada permukiman lagi disana. Sebelum sampai di permukiman itu kami
melihat nenek tua berjalan bungkun berpapasan dengan kami. Kami hanya menjauh
dan mempercepat laju kami. Dan akhirnya, kami tepat sampai di permukiman ramai.
“Itu,, rumah pamanku. Ayo cepat!”
Di
rumah paman Erlin, Erlin menceritakan segalanya. Tapi reaksi mereka sungguh
aneh, mereka hanya terdiam,
“Itu, mungkin hanya anjing penjaga. Memang seperti itu
anjing disini!” kata bibi.
“Tapi itu… "ucapku mencoba menjelaskan
"ya sudahlah.. yang penting kan kalian berdua baik-baik saja sekarang"
"Iya paman" angguk erlin cepat sebelum aku berkomentar banyak.
"Paman aku tidak berani pulang.
Tolong antar kami ya paman” lanjut erlin
“iya, tidak makan dulu?”
“kami sudah makan kok paman,” jawabku
Akhirnya
kami diantarkan pulang dengan montor yang bisa dibilang sudah tua. Aku juga
Erlin, hanya tertunduk saja, tidak berani melihat kanan dan kiri, apalagi
belakang. Namun aku tidak sengaja melihat sekelebat wanita berpakaian ungu,
kemudian hilang. Tapi aku hanya terdiam, tidak mau memberitahu siapa-siapa,
karena mungkin akan memperburuk keadaan.
Sampai
di rumah, aku menceritakan kepada orang tuaku. Kini aku percaya apa yang orang
bilang tentang desa mati itu.
***THE END ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar